*Prolog
Revolusi industry yang pernah terjadi di Inggris pada awal abad ke-19 membuat segalanya berubah. Dunia yang berumur uzur ini ditambah penderitaannya dengan huru-hara kendaraan bermotor. Telinga serasa pekak mendengar teriakan knalpot di sana-sini. Pun dengan dunia perekonomian yang hampir bernasib sama tragis. Kegiatan yang melibatkan aktor kawakan, Duit bin Fulus, berkembang secara fluktuatif selama beberapa windu terakhir. Terjadi pada pertengahan tahun 1997 saat Alm. Soeharto masih menjabat sebagai presiden RI, nilai tukar Rupiah terhadap U$D merosot jauh ke liang lahat. Membuat seluruh buruh; pedagang kecil, menengah, besar; dan kawanan tukang urut merinding hingga ke tulang. Mereka bergidik tak tega melihat usahanya dikerubungi lalat dan akhirnya gulung tikar.
Melihat peristiwa-peristiwa tersebut, masyarakat dunia kini menerapkan hukum rimba: siapa kuat, dia menang. Mereka berlomba-lomba dalam segala hal. Kecepatan adalah syarat mutlak yang harus dimiliki seseorang agar dapat survive. Dan keefektifan dalam mengerjakan sesuatu merupakan prinsip dasar yang harus dianut. Sehingga segala cara pun diperbolehkan. Ngepet, nyupang, nyolong, dan njambret dicap halal. Berjam-jam bekerja menguras keringat mereka lakukan demi satu tujuan: menang dalam kompetisi hidup.
*Belajar Tidak Harus Selalu Dari Buku
Pada sekitar tahun 70-an, republik ini pernah menjadi kiblat dunia pendidikan bagi sejumlah Negara-negara Asia Tenggara, salah satunya Malaysia. Puluhan bahkan ratusan mahasiswa asal Negeri Jiran tersebut berbondong-bondong mendaftarkan dirinya ke dalam calon mahasiswa baru berbagai universitas dalam negeri. Mereka belajar, membawa hasilnya ke rumah, lalu disebarkan. Tapi mengapa sekarang justru kebalikannya? Mahasiswa kita banyak yang bermigrasi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolahnya. Apa yang salah dalam sistem pendidikan Indonesia sebenarnya?
Satu yang patut disorot adalah sumber bacaan. Kebanyakan dari masyarakat kita hanya mengandalkan satu jenis buku menjadi pedoman dalam mempelajari sesuatu. Sehingga pengetahuan pun terbatas, tidak selebar daun talas. Boleh dikatakan, buku merupakan metode kuno dalam belajar. Sifatnya yang statis, boros, membosankan, dan terbatas menghambat kegiatan menyerap ilmu pengetahuan.
Seperti apa maksudnya sifat-sifat buku tersebut?
Begini. Pencetakan buku modern menggunakan mesin-mesin otomatis yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang ahli membuat kegiatan pencetakan dilakukan satu kali saja tetapi dalam jumlah yang banyak. Bahan yang diperlukan untuk mencetak buku adalah kertas yang tebuat dari serat kayu. Itu merupakan kegiatan pemborosan. Baiklah jika dibandingkan dengan muatan pengetahuan di dalamnya yang dapat membuat orang pintar, harga barang-barang tersebut tidak sebanding nilainya. Namun jika dibandingkan dengan sumber bacaan yang tidak memerlukan bahan-bahan pencetakan, lebih baik pilih yang mana?
Kedua: statis. Maksudnya dalam hal ini buku merupakan benda yang tidak dapat diubah isinya setelah pencetakan. Jika isinya tentang A pada tahun ini maka pada tigapuluh tahun mendatang isinya pun tetap A –sebelum ada perubahan dari penerbit—. Sehingga bisa saja orang yang membaca buku tersebut menjadi pinter keblinger (salah menafsirkan) karena isinya sudah berubah beberapa tahun yang lalu.
Sifat selanjutnya adalah membosankan. Selama membaca buku pelajaran, mata hanya disuguhi oleh ratusan baris kalimat-kalimat yang memang tidak dapat dipungkiri, membosankan dan membuat ngantuk. Hal itu dapat teratasi bagi mereka yang mengidap penyakit kutu buku. Namun bagaimana dengan golongan di luar mereka? Tidak semuanya nyaman membaca buku selama berjam-jam tanpa ada gambar penjelasan, kan?
Dan yang terakhir: terbatas. Ilmu memang tidak terbatas. Tetapi media penyalurannya itu yang bersifat limited. Tidak semua masyarakat Indonesia dapat mengetahui berita hangat yang terdapat dalam koran “New York Times”. Dan juga tidak semua masyarakat Amrik dapat membaca berita Koran “Kompas”. Itulah mengapa buku bersifat terbatas. Penyebarannya dibatasi jarak, waktu, dan wilayah.
Lalu adakah sumber bacaan pengganti buku yang manfaatnya sama namun tidak mempunyai kelemahan-kelemahan buku? Ada, yaitu internet. Jaringan internet dengan segudang informasi di dalamnya dapat menjadi penunjang bahan belajar yang bersifat efektif yang mengandung sub-sub lainnya seperti cepat, hemat, universal, dinamis, menarik, serta mudah dipahami. Sehingga pemanfaatan internet dalam dunia pendidikan perlu dikembangkan dan siap menjadi “jendela dunia” yang baru.
Mengapa dikatakan internet merupakan sarana pembelajaran yang efektif?
Pertama, bacaan yang berisi informasi materi pendidikan bersifat up to date atau terbaru. Sehingga pelajar yang membacanya dapat mengetahui teori terbaru dari suatu materi dan tidak pinter keblinger. Kedua, dalam menyebarkannya tidak memerlukan biaya. Tidak seperti buku yang harus sedia kertas untuk mencetaknya, informasi di internet hanya membutuhkan suatu ruang untuk dipublikasikan (website). Dan bagi yang membutuhkan informasi hanya membutuhkan koneksi internet yang dapat didapat dengan mudah serta murah. Oleh karena itu dapat memperkecil pengeluaran dengan manfaat yang sama bahkan lebih besar, digarisbawahi. Ketiga, dapat disebarluaskan ke seluruh pelosok negeri. Seluruh masyarakat dapat mengetahui berita dari suatu surat kabar tanpa harus membaca di daerah asal. Dan yang terakhir, yang paling penting, belajar di internet itu menyenangkan! Dilengkapi dengan sarana pembelajaran yang mendukung multimedia disertakan ke dalamnya –seperti gambar dan video penjelasan—dijamin membuat para pelajar nyaman belajar selama berjam-jam tanpa harus menahan kepala yang sudah dikuasai kantuk.
*Digitalisasi, Sesuatu yang Harus Dimanfaatkan
Berbicara tentang pembelajaran dari internet, berbicara tentang digitalisasi. Yaitu mengubah kebiasaan-kebiasaan lama seperti membaca dan menulis di buku menjadi ke bentuk digital. Kegiatan membaca nantinya tidak akan membolak-balikkan kertas tetapi cukup klik-klik mouse saja. Dan, dapat dipastikan, kegiatan tulis tangan hilang dari peradaban. Yang ada hanyalah bunyi ketikkan tuts keyboard dan tulisan yang tercetak dengan rapi di layar.
Apakah itu dapat memberikan dampak negative terhadap para pelajar?
Jelas. Karena terbiasa dengan menulis dengan keyboard maka tangan pun akan kaku ketika menulis dengan pulpen. Hasil tulisan pun tak ubahnya lukisan abstrak. Masyarakat hanya akan menggunakan tulisan tangan sebagai catatan kecil yang hanya dapat dibaca penulisnya, dan sebaliknya, untuk urusan menulis lamaran pekerjaan, essai, serta surat-menyurat, mereka mengandalkan keyboard sebagai pulpen.
Kembali ke digitalisasi.
Contoh bentuk pengajaran yang berbasis teknologi digital adalah penyediaan materi belajar, mengerjakan soal ulangan dan PR, membaca buku perpustakaan, serta hadir pada jam pelajaran tertentu di internet. Sebagian contoh tersebut telah berhasil diterapkan di Indonesia dalam bentuk e-learning. Dan sebagian lagi belum—seperti menghadiri jam kuliah via internet—karena alasan tertentu.
Kita berpikir ke depan. Dimisalkan era digitalisasi benar-benar diterapkan dalam dunia pendidikan. Setiap pelajar hanya membawa tablet (iPad) ke sekolah dan melakukan aktivitas pembelajaran dengan tablet tersebut. Apakah masyarakat umum akan menerima budaya baru dan memakluminya? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Iya karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki internet jauh lebih banyak daripada buku. Dan tidak karena pengaruh negatifnya yang ketimbang lebih banyak dibandingkan dengan buku jika salah menggunakannya.
Oleh karena itu, jika program baru ini ingin berhasil berkembang di masyarakat maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah pola pikir masyarakat awam bahwa internet adalah sumber maksiat, ladang penipuan, mahal harganya, dan membuat ketergantungan. Jabarkan manfaat-manfaat yang dapat diambil dari internet. Jangan berbicara tentang keburukanya. Karena berbicara keburukan tidak akan ada habisnya.
Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah penyuluhan sejak dini tentang digitalisasi. Seperti anak yang sedang belajar jalan, maka biarkanlah mereka mengeksplor dunia digital—terutama dalam bidang pendidikan—namun tetap dalam bimbingan orang yang ahli. Biasakan mereka mencari referensi lain di internet tanpa harus bergantung kepada buku. Karena, sekali lagi, buku bersifat statis. Tidak diketahui kapan perubahannya terjadi.
Lalu bagaimana dengan budaya tulis tangan? Apakah harus ditinggalkan?
Tidak juga. Budaya tulis tangan tetap dikembangkan namun menjadi pilihan sekunder. Itu dilakukan agar masyarakat percaya diri bahwa tulisannya serapi tulisan keyboard. Dan juga agar mereka tidak memiliki ketergantungan terhadap keyboard yang dapat membuat mereka malas menulis.
Penulis yakin, pemanfaatan teknologi digital ini akan berhasil dijalankan ketika semua pihak ikut terjun ke lapangan dan berpartisipasi ke dalamnya. Tidak menutup kemungkinan para pelajar yang merupakan calon pembela bangsa dapat memajukan kesejahteraan negeri ini dengan ilmu pengetahuannya. Yang tentu, up to date dan kreatif.
*Artikel ini diikutsertakan dalam kompetisi blog yang diadakan oleh Komunitas Ngawur, Pusat Teknologi, dan Blogger Nusantara
Selamat mengikuti lomba, :)
BalasHapusditunggu kunjungan baliknya sob :D
salam hangat dan sukses selalu.. :)
BalasHapusSelamat mengikuti lomba, :)
BalasHapusditunggu kunjungan baliknya sob :D
@ Angga; Santai Sejenak | Secangkir Teh dan Sekerat Roti; Berbagi Bersama: terimakasih atas kunjungannya. insyaAllah akan berkunjung balik :)
BalasHapusakun yang bagus nih.. semoga bermanfaat bagi kita semua oke...
BalasHapussetuju sekali gan..
BalasHapuswiiiddiihhkeren bnget niihhh
BalasHapusmantep sekali niihh gan ilmunya makasih bnyak
BalasHapusIni masanya telekomunikasi dan sedah sepatutnya anak2 diperkenalkan dengan teknologi ini
BalasHapus